Search for:
Masjid Ba’alawi; Singgahan Favorit Para Wali

Masjid Ba’alawi; Singgahan Favorit Para Wali
Oleh: Muhammad Rofiqul Firdausi al-Waadi al-Maduri, Mahasiswa tingkat dua Universitas Al-Ahgaff Syari’ah wal-Qanun, Tarim, Yaman*
Di balik hiruk-pikuk jantung kota Tarim, berjejer tempat-tempat ibadah umat Islam yang tak kalah melimpahnya dengan toko-toko dan kios-kos masyarakat yang mengais rezeki yang bertebaran di mana-mana. Umumnya masjid-masjid itu sudah dibangun sejak berabad-abad silam, dan masing-masing memiliki sejarah dan peran penting dalam membentuk karekter ikhlas dan para figur dai’ yang tersebar ke seantero dunia, termasuk diantaranya Indonesia.
            Ya, siapa yang tak mengenal kota Tarim. Kota di mana nenek moyang para Wali Songo berasal, kota yang punya ikon Ilmu amal dan akhlak, kota di mana bersemayam ribuan wali Allah yang tidak mengenal urusan dunia dan tak begitu peduli selain terhadap ibadah belajar dan dakwah.
Karena pada diri masyarakatnya sejak dulu sudah tertanam prinsip mulia tersebut, tak mengherankan jika masjid-masjid tak sanggup menampung mereka untuk shalat dan acara-acara belajar-mengajar, maka didirikanlah masjid-masjid yang menfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut. Termasuk kegiatan rutin maulid dan lainnya yang sudah menjadi tradisi masyarakat Tarim. Masjid-masjid itu tak lain dari sumbangsih para ulama dan dermawan dan yang berlomba-lomba menyumbangkan harta dan mewakafkan tanah mereka sebagai tabungan akherat. Mereka lebih mengutamakan keuntungan akherat daripada kesenangan dunia yang semu.
Masjid Ba’alawi
Tidak jauh dari pasar tradisioanal kota tarim, berdiri kokoh masjid yang disegani oleh seluruh penduduk lokal maupun non lokal; Masjid Ba’Alawi. Bukan karena kemegahannya tapi karena sejarah dan bekas tempat di mana para ulama’ dan wali-wali agung bersimpuh, menyentuhkan dahi meraka di tanah itu, mengadu dan bermesra-ria dengan sang pencipta. Bekas-bekas itu masih terasa sampai saat ini. Arsitektur bangunannya yang klasik dan sederhana seakan menambah kewibawaan masjid ini seperti kebanyakan masjid-masjid kota Tarim lainnya yang hanya berstruktur tanah liat dan air sebagaimana ciri khas kota tarim. Meski begitu masjid-masjid di kota ini tetap kokoh berabad-abad usianya.
Fisik masjid
Secara kasat mata tak ada yang istimewa dari masjid ini, dilihat dari arsitekturnya masjid yang berdiameter kurang lebih lima puluh meter persegi, dan ketinggian sekitar empat meter ini jauh lebih megah dan menarik daripada kebanyakan masjid di negara kita kita. Dari arah timur tampak menaranya yang mungil ala klasik dan tiga pintu. Satu pintu menuju ruang utama masjid, dua pintu menuju ruang istirahat, tiga pintu di utara dan barat (satu pintu menuju kamar mandi, dan dua pintu menuju ruang istirahat), dan dua pintu dari arah selatan yang keduanya menuju ruang istirahat.
Bagian dalam masjid
Di bagian dalamnya terdapat tiga ruangan, ruang kanan sisi utara sebelah barat terdapat kamar mandi untuk wudhu’ dan buang air kecil, (untuk toilet ada di sebelah utara masjid dibangun terpisah). Di sebelah timurnya terdapat emperan dalam, dan di sebelah kiri ruang tengah akan kita jumpai emperan luas tempat menginap para tamu Allah SWT untuk beristirahat.
Sedangkan ruang tengah terbagi dua, bagian dalam dan luar, Di bagian luar ruang tengah inilah biasanya shalat berjamaah dilaksanakan. Ruang inti bagian dalam hanya dipakai ketika acara-acara besar. Meski begitu tetap diperkenankan bagi siapa saja yang ingin beriktikaf dan membaca al-quran. Di bagian dalam ini ada tempat-tempat yang sering di duduki para pembesar habaib hingga bagian tersebut terkenal dengan nama para habaib yang biasa menempatinya, di antaranya:
  1. Bagian depan pojok kiri
Dikenal dengan tempat mustajabnya doa. Bagian tersebut dulunya adalah tempat shalat Sayyidina al-Faqihil Muqoddam. Bahkan sampai sekarang banyak orang yang antri bergantian untuk sholat ditempat tersebut karena ingin mengambil barokah
  1. Tiang Ma’surah (berbentuk spiral)
Yaitu tempat bersandarnya al-Faqihil Muqoddam. Bisa juga disebut tiang plintir karena seperti baju yang melintir karena di putar. Konon asal mula tiang tersebut dulu ketika Syekh Umar Muhdhor merobohkan Masjid Ba’alawi, beliau ingin membuat tiang yang di sandari Faqihil Muqoddam dengan corak yang berbeda, tapi beliau ragu sehingga di tunda pembuatannya. Esoknya ketika beliau ke masjid ternyata tiang bangunan tersebut sudah berbentuk melintir seperti spiral, konon karena pada malam harinya tiang tersebut dikelilingi oleh para malaikat sehingga melintir sampai sekarang.
  1. Pintu Khidir
Di dekat tiang ma’suroh ada pintu yang terkenal dengan pintu Nabi Khidir AS. karena seringnya orang sholeh melihat Nabi Khidir AS. lewat pintu di tersebut, terutama pada waktu Ashar hari Jum’at, hingga banyak yang mengatakan :
“Jika ingin bertemu Nabi Khidir tunggu di pintu tersebut, yang pertama kali keluar setelah Sholat Ashar di hari Jum’at itulah Nabi Khidir”. Wallahu A’lam.
  1. Kayu di Shof belakang
Di shof paling belakang tepatnya di bagian tengah ada kayu yang tingginya kurang lebih 35 cm yang tak lain merupakan tempat duduknya al-Habib Abdullah al-Idrus ketika menjadi pemimpin para Habaib Ba’alawi (Naqib Sadah al-Ba’alawi).
  1. Batu di dinding dekat menara
Dulunya adalah tempat duduknya al-Habib Abdullah al-Haddad Shohiburrotib (penyusun Ratibul Haddad), beliau duduk di belakang karena beradab dengan orang-orang yang lebih tua yang berada di masjid tersebut.
Pembangunan
            Menurut sejarah masjid ini adalah masjid pertama yang dibangun oleh marga Sadah Ba ‘Alawi, salah satu marga  Ahli Bait. Didirikan oleh Imam Agung Sayyid ‘Ali bin ‘Alwi Khali’ Qasam, cicit al-Imam Al-Muhajir yang besambung kepada Sayyidina Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatihimah binti Rasulullah SAW. pada tahun529 H. Dengan bahan material yang berkualitas karena diambil dari sebuah desa tempat kakek al-Habib Ali Kholiq Qosam yaitu desa Bait Juber, tak lain karena tanah di desa Bait Juber berwarna merah, sangat kuat dan bagus sekali untuk bahan bangunan di banding tanah di daerah lain. Tanah dari desa Bait Juber ini di angkut dengan dokar (pada saat itu adalah alat paling canggih dan moderen untuk mengangkut barang) karena letaknya kira-kira 13 km dari kota Tarim.
Renovasi
Masjid ini mengalami dua kali renovasi. Pertama; di masa putra al-Habib Ali Kholi’ Qosam yaitu al-Habib Muhammad Shohibul Mirbat, beliau semakin menyempurnakan bangunan dan merpercantik masjid yang dibangun oleh ayah beliau sebelum beliau berpindah ke daerah Dhofar (Oman).
Yang kedua: oleh al-Habib Umar Muhdhor yaitu bangunan yang ada sampai zaman sekarang ini. Al-Habib Umar Muhdhor membangun Masjid Ba’alawi di awal abad ke 9 Hijriyah setelah beliau menjadi Naqib Sadah al-Ba’alawi (ketua marga Ba ‘Alawi) pada tahun 821H. Inisiatif dari Habib Umar Muhdhor ini disebabkan melihat keadaan masjid yang tidak layak lagi karena sudah tua termakan usia dan hampir roboh, dikarenakan telah berdiri sejak 300 tahun yang lalu (bila di hitung dari zaman Habib Umar Muhdhor), maka beliau mengumpulkan para pembesar habaib untuk bermusyawaroh tentang pembangunan masjid tersebut, namun mereka tidak menyetujui.
Meski demikian, dengan melihat kemaslahatan yang lebih besar Habib Umar Muhdhor akhirnya nekat dan memanggil tukang dari daerah Mahro (daerah dekat ibu kota Shan’a) yang terkenal dengan tukang-tukang handal untuk merobohkan Masjid Ba’alawi. Ketika hari Jum’at di saat para habaib berangkat Sholat Jum’at di Masjid Jami’ Tarim (tidak semua masjid di tarim digunakan untuk shalat Jumat, dulu penduduk Tarem kalau Sholat Jum’at jam 8 pagi sudah ada di masjid Jami’ dan pulang kira-kira jam dua siang, karena setelah sholat mereka masih berdzikir, membaca al-Qur’an dan sholawat) dan ketika mereka pulang dari masjid mereka temukan masjid Ba’alawi telah roboh dan rata dengan tanah kecuali tembok bagian depan masjid dan mihrab pengimaman, pada akhirnya mereka pasrah dengan keputusan beliau.
Setelah menyelesaikan pembangunan al-Habib Umar Muhdhor bin Abdurrohman as-Seggaf naik ke loteng masjid dengan mengangkat kaki kanannya lalu meletakkannya, mengangkat kaki satunya dan meletakkannya kembali. Beliau melakukan ini beberapa kali. Menurut sebagian habaib hal tersebut adalah gerakan kaki yang dilestarikan hingga saat ini dan sudah menjadi tradisi masyarakat Tarim, yaitu ” ar-Rozih ” tarian kaki yang diiringi senanandung syair berisi pujian dan doa ). Dengan  rasa gembira yang di penuhi doa pada Allah SWT. al-Habib Umar Muhdhor berkata seraya  menghentakkan tongkatnya :
هذا بناي إلى يوم القيامة معاد با يتغير إن شاء الله
Insya Allah bagunanku ini tidak akan pernah berubah dan akan tetap kokoh sampai hari kiamat.
Perluasan masjid
Masjid Ba’alawi mengalami beberapa kali perluasan tanpa merubah substansi dasar bangunan yang telah direnovasai oleh Habib Umar Muhdhor. Diantaranya oleh al-Habib Alwi as-Tsamin bin Abu Bakar al-Khered pada bagian pintu masuknya. Beliau juga menambahkan sebuah menara yang tak begitu tinggi, hanya berukurang sekitar lima meter. Begitu juga al-Habib Ahmad Bajahdab. Beliau menambahkan sebuah tempat untuk belajar mengajar di samping kanan masjid.
Diantara kelebihan masjid Ba ‘Alawi
Hingga saat ini, khusunya pada hari Jumat sore waktu sholat Ashar banyak sekali yang hadir untuk sholat di masjid ini meskipun dalam keadaan sakit mereka tetap berusaha menyempatkan diri sholat Ashar berjamaah di Masjid Ba’alawi. Sampai disebutkan dulu orang-orang yang sakit biasanya mengendarai keladainya menuju Masjid Ba’alawi demi ikut shalat Ashar berjamaah di sana, hingga konon keledai yang ada di luar Masjid Ba’alawi mencapai 80 ekor, karena kehadiran Nabi Khidhir AS. di waktu itu.
Para pendahulu sampai sekarang sangat menjaga adab di Masjid Ba’alawi, bahkan mereka tidak berani memakai habwa (sejenis ikat pinggang yang biasanya dipakai sebagai penahan lutut saat duduk) dan juga menselonjorkan kaki. Masjid Ba’alawi juga sangat terjaga dari perkara khilafiyah (perselisihan ulama’), bahkan dari lintas madzhab sekalipun, mereka sangat menjaga dari melakukan suatu hal yang masih diperselisihkan kebolehannya, bahkan kesunahannya, seperti Shalat Sunnah qabliyah Maghrib, potret-memotret dan rekaman video. Oleh karenanya tak pernah kita jumpai gambar atau foto Masjid ini dari bagian dalam, karena para ulama masih berselisih tentang hukum kamera, hal ini tak lain demi menghomati dan menghargai para pengikut seluruh Madzhab diantara keempat Madzhab.
Ketika malam hari Masjid Ba’alawi sangat makmur, banyak orang datang untuk menghidupkan malam dengan tahajud dan membaca al-Quran. Al-Habib Alwi bin Syihab berkata:
” Lampu di Masjid Ba’alawi tidak di matikan ketika malam hari karena banyaknya orang yang ibadah “. Bahkan para imam-imam Masjid di kota Tarim berangkat ke Masjid Ba’alawi , dan ketika menjelang subuh mereka kembali ke masjid mereka masing-masing. Para jamaah duduk sampai waktu terbitnya matahari, ketika jama’ah sholat subuh pulang, di luar masjid sudah banyak yang antri untuk masuk masjid, begitu juga ketika waktu Dhuha tiba kira kira jam 8 sampai jam 10,  tempat wudu’ masih penuh karena antri untuk melaksanakan Sholat Dhuha.
Tak sedikit yang mendapatkan Sirr (pangkat kewalian) orang Sholeh di masjid ini. Diantaranya Al-Habib Abdullah al-Haddad mendapat maqom al-Habib Abdullah al-Idrus di Masjid Ba’alawi. Bahkan ada seorang habaib mendapatkan “hal” (derajat) para wali di Masjid Ba’alawi lalu ia berkata : “Ya Allah ikutkan teman-temanku yang ada di masjid ini sehingga mereka keluar dari masjid semuanya menjadi wali.”
Konklusi
Segala hal dan suasana yang ada di masjid ini betul-betul membawa kita seolah berada di masjid Nabawi pada masa Rasulullah SAW. Karena suasananya yang hening dan tenang, tak pernah terdengar sekalipun suara obrolan seputar dunia. Tak salah bila salah seorang Arifin mengapresiasi masjid ini: “Aku pernah bermukim di Makkah al-Mukarromah, dan aku menemkan kenyamanan dan ketentraman yang luar biasa serta suasana yang begitu menggugah jiwa. Ketika aku sampai di Tarim dan singgah di masjid Ba ‘alawi, aku dapati ketentraman dan kenyamanan yang seperti itu, begitupula aku mendapatinya di Masjid Syekh Umar Muhdhor, dan Masjid Muhammad Hasan Jamal al-Lail”.
‘Ala Kulli Hal, masih banyak keindahan dan keistimewaan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah mengunjunginya. Begitu sulit menguraikannya, apalagi hanya sebatas  ungkapan tulisan. Semua ini tak lepas dari karunia Allah yang dianugrahkan pada masjid ini, yang jarang kita dapati di masjid lain, dengan menjadikannya tempat faforit para Wali-Nya.
Cukuplah kiranya gambaran kecilnya dengan untaian Sya’ir Habib ‘abdullah bin Syihab Rahimahullah:
Mereka adalah para kaum yang dikala malam membentangkan tirainya
menyingkirkan selimut mereka
dan tidak tertipu dengan kenikmatan dan kemegahan tempat tidurnya
Tetapi rindu dengan kehangatan tiang-tiang masjid sebagi tempat untuk bersimpuh dengan bersujud pada Sang Pencipta
melantunkan al-Qur’an dengan penghayatan menjadi irama yang indah
ditengah keheningan malam yang gulita memenuhi seruan Sang Pencipta.
Di masjid Bani Zahro terdapat sirr yang begitu agung
karena telah di pijak oleh kaki Sayyidina Al-Faqihil Muqoddam
begitu kuberharap dikala bersujud di masjid itu
tubuhku menyentuh bagian yang telah mereka duduki
hingga aku mendapat keagungan berkat mereka
Betapa banyak kaki-kaki mulia telah memijakinya
Orang-orang mulia shaleh dan terkemuka
malam harinya bersimpuh berderaian air mata
di tempat sujudnya
betapa banyak hamba yang singgah
mereka adalah pewaris serta penerus Sang Nabi SAW.
Ahad 03/08/1438 H. | 30/04/2017 M.
Istana Peninggalan Kerajaan Al Katirie di Kota Seiyun Hadhramaut Yaman

Keberadaan Istana Qasr/Castle Kerajaan di pusat Kota Seiyun, sebagai bukti yang tak terbantahkan bahwa kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan di zaman dahulu. Dan bahkan, jika berbincang Seiyun sebagai pusat pemerintahan, sejarah Qasr tentunya tidak boleh terlewatkan.
Istana tanah yang memiliki tinggi 34 meter dan luas 5460 meter persegi tersebut, selain dikenal dengan sebutan Istana al-Katiri, nama dinasti yang berkuasa paling lama ini juga dikenal dengan nama Qasr al-Dawil yang berarti istana kuno; Qasr al-Tsawrah yang berarti Istana Revolusi. Dengan bersamaan runtuhnya kolonialisme Inggris sekitar era tahun 60-an, berakhir pula kekuasaan Dinasti al-Katiri.
Pada tahun 1984, istana ini dialih fungsikan menjadi sebuah museum, yakni museum penyimpanan benda-benda purbakala. Selain itu juga menjadi pusat kebudayaan masyarakat Seiyun, yang juga merupakan babakan sejarah panjang dinasti al-Katiri yang telah terekam dalam buku Tarikh al-Dawlah al-Katiriyyah, atas karya Muhammad ibn Hisyam.
Saat memasuki setiap ruangan yang ada di dalam Istana setinggi tujuh lantai ini, para rombongan serasa sedang memasuki dunia lain. Misalnya saja saat berada di lantai dua, para pengunjung dapat menikmati berbagai macam peninggalan yang antik dari peradaban Seiyun sebelum Masehi, seperti mata uang kuno, alat pencaharian serta bebatuan ukir yang antik dan unik dengan usia ribuan tahun. Konon katanya benda-benda tersebut memiliki fungsi istimewa dalam dinamika keseharian masyarakat saat dulu kala.
Di lantai tiga, terdapat alat-alat pertanian yang dipajang, alat untuk bercocok tanam dan peralatan untuk berperang. Kemudian lantai empat dijadikan sebagai museum foto yang merekam dokumentasi masyarakat Seiyun selama puluhan tahun. Begitu pun dengan lantai-lantai lainnya yang juga memiliki kekhususan tersendiri.

Sedangkan bagi para pengunjung yang datang ke Kota Seiyun yang terburu-buru dan tidak memiliki waktu banyak, tidak perlu merasa khawatir. Sebab saat ini telah disediakan bioskop mini di dalam Istana yang dapat memutar film singkat tentang peradaban Negeri Yaman secara umum dan Seiyun secara khusus. (Jihadul Muluk)

أهمية أصول الفقه للمقلد وكيفية تعامله مع قواعده في يومنا الراهن
أهمية أصول الفقه للمقلد وكيفية تعامله مع قواعده في يومنا الراهن
(المحاضر: د. عبد الله عبد القادر العيدروس)
✔ هل علم أصول الفقه خاص للمجتهد فقط وليس المقلد بحاجة إلى تعلمه؟
يقولون إن علم أصول الفقه في يومنا الحاضر صار من العلوم التي نضحت واحترقت، فلا يستدل به في وقتنا الحالي. وهذه -بوجهة نظري- مصيبة عظيمة فيه. لأن علم أصول الفقه هو الأس الذي ينبني عليه اجتهادات الفقهاء الأربعة. كما عرفنا أن علم أصول الفقه هو دلائل الفقه الإجمالية وطرق استفادتها ومستفيدها. والمقلد هو الشخص الذي يأخذ كلام غيره من غير دليل.
وبهذا التعريف الشائع يظهر تفريق بين المجتهد والأصولي والمقلد. وكأن المقلد لا ينبغي أن ينظر على علم أصول الفقه لأنه في النهاية أصول الفقه دلائل والتقليد أخذ لقول آخرين من غير دليل. فكيف للمقلد أن يهتم بالدليل وهو لا يحتاج إلى النظر بالدليل؟
من أين جاءت هذه الفكرة؟ لما كثرت الكتب الفقهية المؤلفة من الشروح والاختصارات والحواشي صار العلماء يكتفي بنقل الأقوال والأحكام من كتاب إلى كتاب آخر. ويقولون بأن باب الاجتهاد قد أغلق ومفاتحه قد رمي في البحر. حتى يصير في ذهن الطالب أنه لا يستطيع أن يفكر في استنباط حكم جديد في الزمان الذي يعيشه فضلا عن أن يهتم بأن يصل إلى مرتبة الفقيه.
✔ المقلد أقسام ، فليس كلهم على مرتبة واحدة
بادئ ذي بدء لا بد أن نحقق أولا أن المقلد أقسام، ليس كلهم على مرتبة واحدة. وإلا فسنحكم بأن الصحابة في زمان النبي أيضا من المقلدين كنحن. لأنهم أخذوا الحكم من النبي صلى الله عليه وسلم بدون الدليل. فالمقلد أقسام وهناك ما يسمى بمجتهد المذهب وهو من المقلد، أيضا مجتهد الفتوى وهو من المقلد. لو لم نقسم كما هذا صار طالب العلم المقلد خائفا من الاجتهاد. فصار متعلم علم الفقه وعلم أصول الفقه كنسخة الكتاب فقط، بمعنى أنهم تعلموا العلوم فقط لحفظ الكتب ولحفظ التراث. مع أن علم أصول الفقه هو للعمل وللتطبيق له في الواقع العملي.
لو رأينا ما حدث بعد القرن العاشر: هناك ما يسمى بالتنقيح الثاني للشيخين الرملي وابن حجر، حيث رجح الأقوال ويقيس بالمصلحة، لكن ذلك لا يخرجهم عن المذهب، وهما من المقلد للمذهب الشافعي. وأحيانا يثبت الحكم لمسألة جديدة بدليل المصحلة ودليل القياس ودليل شد الذرائع. وكذلك نجد في فتاوى العلماء في عصرنا من يجتهد مثل ذلك. مع أنهم في النهاية ما زالوا مقلدا. لكنهم قدروا على حل المسائل التي تتداول في عصرهم بالقياس والنظير وأخذ المقابل.
فلذلك لو اجتمع في شخص علم أصول الفقه والقواعد الفقهية ومقاصد الشريعة انتهى المعنى لتحقيق أي نهضة من نهضات الإسلام. وإن وقع هناك أخطاء في تأليف أصول الفقه لكن يتحسن بمرور الزمان. وسيتضح ذلك بالنظر إلى تطور علم أصول الفقه. سنجد أين المراحل التي تسبب التأخر والضعف في علم أصول الفقه.
✔ فائدة علم أصول الفقه وعلم القواعد الفقهية وعلم مقاصد الشريعة
إن علم أصول الفقه يوجه التفكير الإسلامي، والتعامل مع الناس، ويرتب الأفكار في حل القضايا الشرعية. وهو أيضا سبب في توحيد منهجية التفكير للمذاهب الأربعة، حيث يترتب أن هناك أدلة متفق عليها وأدلة مختلف فيها. وهو أيضا أداة أولى للاجتهاد الفقهي.
أما علم القواعد الفقهية قال السبكي: من أراد أن يملك الفقه يضبطه بالقواعد. لأنك إذا ربطت القاعدة ربطت الفروع الفقهية. ولا بد أن نتعلم كيف ندرس أصول الفقه كما من أجلها أنشئ ، مثل في مسألة كيف نعرف علة تحريم الخمر فنحكم ونقيس على المشروبات الأخرى التي خفيت فيها علة الخمر.
فمثل هذه القضايا المعاصرة والمتجددة نستطيع أن نعرفها من خلال علم أصول الفقه. وأيضا عندما تعارضت المصلحة في الأحكام ، نستطيع أن نعرف من خلال فن مقاصد الشريعة. من خلال هذا الدليل الإجمالي ، نستطيع كفقيه وعالم أن ننظر وترجح المصالح والمفاسد. فهذه العلوم الثلاثة لا يفصل بعضها من بعض. قبل عرض الدليل أمام المستفتي يمكنك أن تقنعهم بسبب أصول الفقه ثم بعد ذلك ترجع إلى الكتب الفقهية لدعم ذلك الرأي.
قال الإمام الشوكاني بإن الاجتهاد في العصر الحاضر أحوج بالنسبة إلى الزمان السابقة، لأن الآن العلوم والكتب والتراث منتشرة في العالم وسهل الوصول والحصول عليها. لكن سبب تأخرنا من الزمان السابق هو الضعف والكسل ، فلذلك اعتبر الباب كأنه قد أغلق.
في السنن النبوية ،ستجد هناك كان الصحابة إذا أراد أن يحكم في مسألة فقهية معينة جمعوا الناس من الفقهاء للاجتهاد الجماعي حتى يصلوا إلى الحكم الشرعي، وهذا مثل المجمع الفقهي في يومنا الحاضر.
✔ أسباب تدوين علوم أصول الفقه
كان في فترة التاريخ الأولي العلماء يستنبطون مسألة فقهية دون منهجية واضحة للاستنباط ، فتجد للمجتهد عدة أقوال في مسألة واحدة. فجاء الشافعي لترتيب ذلك في قواعد تربط الاستنباط في تعامل الناس بالنصوص. فألف كتاب الرسالة.
ارتكز في كتابه “الرسالة” على أمرين : مبحث المعاني ومبحث دلالة الألفاظ. يتطرق إلى مبحث الحروف ولا اللغة من حيث هي اصطلاحية أم توقيفية ، بل تكلم عن مبحث المعاني ودلالة الألفاظ كالأمر والنهي والمجمل والمبين . لا يتكلم عن أصول الدين، لأن الغرض حينئذ مجرد وضع المنهج الفكري الفقهي للاستنباط. أما غير ما لم يكتبه الشافعي هو لا يحتاج إلى كتابته لأنه من الأمور التي قد علمت بالضرورة.
نمط المتقدمين مركز في هذه المباحث. فمتى امتزج علم أصول الفقه مع علم الكلام؟ جاء في القرن الثالث الامتزاج في فن أصول الفقه بأصول الدين أو علم الكلام. وهذا بسبب نشاط المعتزلة الذين ينشرون الشبهة فردهم أهل السنة بتأليف الردود في مبحث علم الكلام. ولقوة المعتزلة في علم الكلام حيث سلط الدولة بذلك ، فاضطر علماء أهل السنة بالكلام على علم الكلام وعلم اللغة وعلم الحديث، وصار أصول الفقه كعلم الخلاف ، في كل مسألة من مسائلها خلاف بين الأشعري والمعتزلي. أين علاقته بالاستنباط؟
بسبب هذا صار علم أصول الفقه الذي هو منهج عملي ينتقل إلى منهج فلسفي. دخله علم الكلام فتكلم فيه عن علم المنطق. وكذلك دخل عليه العلوم الغيبية التي تكلمت عن أمور الآخرة التي لا دخل لها في الاستنباط. فصار في ذهن طلاب العلم أن تعلم علم أصول الفقه هو تعلم الأشياء غير واقعية وليس فيها فائدة مهمة.
✔ مرحلة التجديد في أصول الفقه:
وقع التجديد في علم أصول الفقه لا في أصول الفقه ، فألف العز بن عبد السلام القواعد الفقهية ، يتكلم عن أمور منها المصالح والمفاسد وبين منهجية الترجيح وكيفية الاستنباط من دون الكلام على علم الكلام. ثم جاء بعد ه الإمام الشاطبي فألف كتابه المسمى بـ”الموافقات” فأبعدت كل شيء لا يتعلق بوظيفة أصول الفقه في الاستنباط وجرده ذلك كله. وميز بين المسائل الأصولية واللغوية. نعم إن الأصولي يحتاج إلى علم اللغة ، لكن الأحسن لا يجمع هذين الفنين في علم واحد. فمن أراد أن يتعلم علم اللغة فليرجع إلى كتب اللغة.
ثم جاء بعد ذلك الإمام الشوكاني في كتابه إرشاد الفحول ، يرى أن الاجتهاد في الراهن أيسر من الزمان القديم ، لأن السنة والتفاسير كلها مدونة ، فيرى أن كلام بعضهم بأن باب الاجتهاد مغلق كلام لا ينبغي أن يثار.
✔ وظائف علم أصول الفقه

علم أصول الفقه لها وظيفة. أولا: تفسيرية ، من خلالها يعطي لنا منهج متكامل لفهم نصوص الشرع كالقرآن والسنة. وذلك من خلال الكلام على دلالة الألفاظ، والمطلق والمقيد، والأمر والنهي، والعام والخاص، والمنطوق والمفهوم.

ثانبا: ضبط قواعد الاستنباط ، عن طريق تبيين عن أبحاث مبحث الأدلة كيف نرجحها وكيف نجمعها.
ثالثا: وضع طرق الاستنباط ، مجردة عن علوم أخرى لا علاقة لها بعلم أصول الفقه.
رابعا: ترشيدية ، لأن النصوص قليلة والوقائع كثيرة ، فنحتاج إلى القواعد المنهجية العقلية المستندة إلى نصوص ، فيمكن أن نستنبط بها الأحكام الشرعية في كل المسائل الحديثة التي توجه إلينا اليوم.
فجاء القياس ، ومسالك العلة ، والترجيح بين العلل.
كثير من العلماء الذين أبعدوا مسألة الجدل من علم أصول الفقه. كالإمام الشعراني مثلا ، كان اختصر جمع الجوامع فحذف كل المسائل المتعلقة بالجدل ، أثبت كيفية مسالك العلة ثم قوادح العلة التي تؤثر في صحة العلة. لا يتكلم عن مسألة الجدل.
فصار بذلك كله في ذهن الطالب أن هذا العلم كأنه علم جامد. واعتبره علما غير واقعي. لأنه كأنه مجرد الكلام عن علم الخلاف بين المجتهد. والمقلد لا دخل له بذلك كله. فركز في التفريق بين علم أصول الفقه من حيث هي علم عملي لا فلسفي ولا جدلي. وأيضا لا بد علينا أن نتعلم علم أصول الفقه مع علم القواعد الفقهية وعلم مقاصد الشريعة حيث بذلك كله نستطيع أن نحل مسائل جديدة توجه إلينا في يومنا الحاضر.
* والله أعلم *


فرصة السؤال والجواب:

✔ محي الدين: كيف نفتي اليوم مع تطبيق علم أصول الفقه؟

ج: لا بد بالآلة ، بنقل الكلام للمتقدمين ، أما بالمسألة التي لم يتكلم بها السابقون ..فالمفتي اليوم لا يمكن أن يدرك بجميع المسائل كلها ، فالأحسن أن نستفيد كثيرا بما يسمى بالمجامع الفقهية ، حيث اجتمع فيه كثير من أصحاب المهنة المختلفة. وأيضا بفقه النفس التي تحصل بالممارسة ، -راجع ما قد كتبه الشيخ بافضل- حيث يبين ويدرك كيف يستنبط الأحكام الفقهية ،

✔ الجفري: هل باب الاجتهاد مغلق في جميع المسألة الأصولية ، والفروعية ؟ أو فقط في الأصولية؟

ج: الجزئية لا يغلق الباب للاجتهاد فيها ، وذلك بالقياس ،

✔ القدري: كيف طريقة العلاج للتعصب في تطبيق أصول الفقه ؟ لأنهم اختلفوا ولم يرد أن يجتمع بعضهم بعضا في رأي واحد مع أنهم فهموا علم أصول الفقه وعلم مقاصد الشريعة؟ لماذا لم يجتمع في المجمع الفقهي؟

ج: ظهر من الجدل والخلاف التعصب ، فالإخلاص في الاجتهاد هو العلاج. كما قاله الشافعي بأنه يحب أن يظهر الحق على المعترض لا منه ، فالعصبية تحصل من النفس، ومن الهوى ، فيحكم بما أراده، لا ما أراده الله ، لأن أصول الفقه هي منهج فكري شرعي ، كل الأدلة ستصل إلى الحكم ، إلا أن يعكره النفس ، وكثير ذلك بسبب السياسة ، لأمر سياسي ، وذلك أمر خطير لأنه من معاني حديث من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار. ولا سيما لو كان ذلك بإلغاء النص الواضح فأخذ الحكم الذي يوافق هواه.

NOTULASI SEMINAR “EKSISTENSI SANTRI DALAM KEJAYAAN NKRI”

Notulasi Seminar “Eksistensi Santri Dalam Kejayaan NKRI”

Narasumber : DR. Segaff Baharun, M.H.I
Moderator : Syauqi Al Muhdhor, B.Sc
Notulen : Nofal Ali
Tanggal & Waktu : Jumat, 23 Februari 2018, pukul 21.00 – 23.00 KSA
Tempat : Auditorium Fakultas Sharea and Law Universitas Al Ahgaff.

Poin – Poin berlangsungnya seminar :

- Moderator membuka acara.
- Moderator mempersilakan narasumber untuk menyampaikan materinya.

- Sesi Penyampaian Materi :
o Silakan kita jadi doktor, silakan kita jadi profesor, tapi kesantrian kita harus yang paling hebat. Karena yang menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak muslimnya itu adalah santri, yaitu para wali songo.
o kesantrian itu bukan hanya terkait dengan lahir saja, tapi juga sangat terkait dengan batin. Yaitu terkait erat dengan kekuatan Allah subhanahu wa taala.
o Untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat atau bahkan negara, tak cukup hanya dengan kita menjadi doktor saja tanpa kesantrian. Karena empat unsur kejayaan mulai dari bahagia, sejahtera, aman dan sentosa (yang akan diwujudkan di NKRI) itu harus melalui jalur kesantrian.
o tentang resolusi jihad yang diprakarsai oleh Kiyai Hasyim, sebuah catatan sejarah yang dapat menyadarkan kita semua bahwa dengan bantuan dan kekuatan Allah, kekuatan yang tampaknya kecil dapat mengalahkan kekuatan yang lebih besar. Sebagaimana kisah-kisah para nabi di zaman dahulu ketika menghadapi musuh-musuhnya yang berlipat-lipat ganda jumlah dan kekuatannya. Semua musuh dikalahkan oleh kekuatan yang tak masuk di akal.
o Semua kekuatan yang ada itu milik Allah. Maka yang perlu kalian tekankan sekarang ini adalah belajarlah karena kalian adalah santri. Bukan karena kalian adalah pelajar atau mahasiswa.
o Al Faqir berjuang untuk mendapatkan gelar doktor itu bukan karena agar bisa diterima sebagai pegawai PNS atau mengajar di Perguruan Tinggi. Semua al faqir lakukan hanya untuk membuat silau para mata yang memandang. Gelar ini adalah sebuah senjata yang bisa kita gunakan agar kita bisa masuk ke berbagai kalangan dan diundang dakwah dimana-mana. Berbeda ketika kita hanya seorang kyai atau santri saja.
o Belajar di perguruan tinggi tidak mesti akan menghilangkan kultur salaf pendidikan kita. Sungguh dengan belajarnya kalian sebagai santri sekaligus mahasiswa di sini adalah hal yang luar biasa. Karena sesungguhnya kalian telah memperbanyak modal kalian untuk menyenangkan hatinya Baginda Rasul Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Namun jangan salah, gelar dan santri saja tanpa ada bekal keilmuan yang kompeten itu masih tidak cukup.
o Kalo kita sudah bisa mengumpulkan dua senjata sekaligus, yaitu senjata pertama gelar yang bisa menggambarkan sesuatu yang lahir dan senjata ilmu kesantrian yang menggambarkan sesuatu yang batin maka kita bisa berdakwah masuk kemana-mana.
o Kakek dan nenek moyang kita telah mengajarkan kita secara tersurat dan tersirat dalam lagu kebangsaan kita untuk membangun jiwa kita terlebih dahulu baru kemudian membangun raga kita. Bagaimana mungkin jiwa tersebut dapat dibangun hanya dengan dua jam pelajaran agama dalam setiap satu pekannya?
o Ustadz Segaf Baharun memiliki sebuah majelis di kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur yang bernama Majelis Subuhan Al-Busyro. Majelis ini tak hanya berisikan pengajian subuhan saja, namun beliau rangkai agenda tahajud berjamaah, subuh berjamaah, baca yasin, wirdullatif, wirid sakron, shalawat daf’ul bala’, shalawat al-busyro, kemudian dilanjutkan dengan pengajian 30 menit dan diskusi interaktif selama sepuluh menit.
Bahkan di Majelis Subuhan Al-Busyro ini, berkumpul di dalamnya 1.500-2.000 jamaah yang di antaranya adalah para anggota dewan. Baik itu eksekutifnya dan bahkan legislatifnya. Juga masyarakat Bangil yang terdiri dari berbagai macam warna ormas dan keyakinannya.
Menariknya lagi dari majelis ini, beliau telah merangkai program untuk masuk ke berbagai sekolah negeri di Bangil tanpa dibayar gaji. Semua beliau lakukan agar setiap kalangan remaja yang ada dapat tersentuh oleh ilmu agama lebih dari apa yang mereka dapatkan selama ini.
o Kemudian Ustadz Segaf Baharun juga mengajarkan kita cara untuk menyikapi para pelajar yang non-santri.
o Mereka semua adalah saudara semuslim kita, jadi jangan kita musuhi mereka. Semua harus kita rangkul bersama. Kita sudah tahu sabda nabi, bahwa orang yang beriman adalah orang yang berharap untuk saudaranya seperti yang ia harapkan untuk dirinya sendiri. Dalam artian, kita tidak mau masuk surga kecuali mereka juga harus ikut masuk surga.
o Setelah berjalan selama 30 menit, di akhir pemaparan beliau membagikan sebuah resep ampuh yang bisa kita amalkan agar memiliki mental yang kuat serta jiwa yang tangguh, sehingga kita bisa hidup dimana saja, dengan situasi apa saja, tidak pernah takut untuk kehilangan apa saja ” Saya punya abah Habib Hasan Baharun berpesan kepada saya, wahai Segaf harus kau tanamkan di dalam dirimu bahwasanya kau adalah manusia yang paling buruk dan paling rendah di dunia ini. Bila kau berhasil tuk merasakan dan menanamkannya di dalam dirimu, maka kau akan jadi orang yang sukses dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.’’
‘’Mengapa ayah saya berkata demikian? Karena ketika ada seseorang yang memuliakanmu, menjunjung tinggi dirimu, (berkat resep ini) spontan kau akan bergumam, “Masya Allah, masa orang kayak saya ini layak tuk dimuliakan. Ini pasti (bukan karena saya orang mulia, tapi) memang karena orang tersebutlah yang memiliki akhlak mulia.” Dan juga, ketika ada seseorang yang mencelamu, atau ketika kau tidak dipedulikan oleh orang lain, maka (berkat resep ini) spontan kau akan merasa bahwa ungkapan dan sikap seperti itu memang pantas ditujukan untukmu.’’

- Sesi Tanya Jawab :
o Peran ulama dalam politik ?

Ulama harus berperan dalam politik, tetapi secara tidak langsung, ada koridor dan batasan-batasannya, karena kedudukan ulama jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan umara’ (pemimpin). Ulama itu milik semua umat islam, ilmu yang ada di dalam diri ulama sifatnya rahmatan lil ‘alamin untuk semua golongan manusia, maka jika seorang ulama terjun langsung kedalam dunia politik sama saja dia menurunkan kedudukan yang Allah telah amanahkan kepada dirinya, disamping itu, kalau seorang ulama terjun langsung kedalam dunia politik maka secara otomatis dirinya akan terkotak-kotakkan dengan blok, partai dan golongan tertentu, tentu ini akan mencederai sifat ulama yang milik semua umat “rahmatan lil ‘alamin” itu tadi.

Selayaknya di dalam majelis ilmu jangan ada unsur-unsur politik, karena di dalam majelis ilmu terkandung ilmu yang diwarisi dari Baginda Nabi Muhammad SAW, milik semua umat, kalau di dalam majelis ilmu ada unsur politik ditakutkan akan terkotak-kotakkan dengan blok, golongan dan partai tertentu. Maka barangsiapa yang memuliakan ilmunya Nabi Muhammad SAW, dia akan mulia.

Kita tidak terjun dalam dunia politik, tetapi kita jangan memusuhi dan anti politik. Kita harus bisa menempatkan diri kita sesuai dengan kedudukannya masing-masing.

- Sesi Penutup :
o Beliau berpesan kepada para penuntut ilmu untuk memantapkan niat dan bermujahadah dalam membersihkan hati.
o Niat kita untuk belajar, meninggalkan orang tua, semuanya kita niatkan untuk membahagiakan Nabi Muhammad SAW.
o Barang siapa yang di dalam hatinya menggebu-gebu niat membahagiakan Nabi Muhammad SAW, maka dia akan dicintai oleh Nabi Muhammad SAW, siapa yang dicintai oleh Nabi Muhammad SAW maka dia akan cepat sampainya, karena dunia ini apa kata Nabi Muhammad SAW, dunia ini tercipta dari Nur Nabi Muhammad SAW.
o Mujahadahkanlah diri kalian dalam membersihkan hati, karena hati itu komponen yang sangat penting untuk seseorang menerima ilmu العلم في الصدور لا في الستور Letaknya ilmu itu di hati, bukan di dalam tulisan aksara semata.

Seminar selesai pukul 23.00 KSA.

RSS
Follow by Email
YouTube
Instagram
Telegram
WhatsApp