


Menelisik Sejarah Masjid Wa’al; Masjid yang Pertama Berdiri di Bumi Sejuta Wali

Masjid Ba’alawi; Singgahan Favorit Para Wali
- Bagian depan pojok kiri
- Tiang Ma’surah (berbentuk spiral)
- Pintu Khidir
- Kayu di Shof belakang
- Batu di dinding dekat menara

Istana Peninggalan Kerajaan Al Katirie di Kota Seiyun Hadhramaut Yaman
Sedangkan bagi para pengunjung yang datang ke Kota Seiyun yang terburu-buru dan tidak memiliki waktu banyak, tidak perlu merasa khawatir. Sebab saat ini telah disediakan bioskop mini di dalam Istana yang dapat memutar film singkat tentang peradaban Negeri Yaman secara umum dan Seiyun secara khusus. (Jihadul Muluk)
Cengkok Khas Habib Syekh Membuat Nostalgia Pelajar Indonesia
Seusai kedatangan tamu besar yang mengisi seminar kebangsaan di bulan Syawal kemarin, warga Indonesia yang berdomisili di wilayah Tarim dan sekitarnya kembali kedatangan tamu agung lainnya pada bulan Dzulqo’dah kali ini. Beliau adalah Habib Syekh Bin Abdul Qodr Assegaf, salah satu Habib yang begitu digandrungi masyarakat Indonesia dengan cengkok suara khas yang dimiliknya.
Kedatangan beliau ke Ribath Imam Muhajir, Husaisah kali ini merupakan suatu bentuk kehormatan bagi persatuan pelajar Indonesia (PPI) Yaman dan persatuan pelajar Indonesia (PPI) wilayah Hadhramaut. Karena, beliau telah berkenan memenuhi undangan untuk mengisi acara Hadhramaut Bershalawat sebagai bentuk sambutan momentum kemerdekaan Indonesia yang ketujuhpuluh dua sekaligus doa bersama untuk keselamatan saudara-saudara seiman kita yang ada di Palestina.
Acara Hadhramaut Bershalawat ini sendiri sukses diselenggarakan atas kerjasama PPI Yaman, PPI Hadhramaut, PCINU Yaman, FMI Yaman, AMI Al-Ahqaff dan organisasi-organisasi daerah pelajar Indonesia yang ada di Yaman. Bahkan, tak segan Habib Syekh memuji kesuksesan acara ini meskipun sebenarnya acara tersebut bisa digolongkan sebagai acara yang begitu mendadak.
Pada pukul 19.20 KSA, Maulana Kamal, mahasiswa Universitas Al-Ahqaff yang berasal dari Banjar membuka acara tersebut dengan runtutan susunan acara sebagai berikut : 1. Pembukaan. 2. Pembacaan ayat suci Al-Quran, 3. Sambutan, 4. Pembacaan Maulid dan Qasidah, 5. Doa, 6. Menyanyikan lagu Indonesia raya dan diakhiri dengan penutup.
Sebelum acara dibuka dengan rotib Al-fatihah oleh habib Muhammad dari Ribath Husaisah, beliau berwasiat kepada segenap hadirin yang ada untuk senantiasa bertakwa kepada Allah.Pun demikian beliau juga berwasiat untuk selalu mengikuti perintah Allah dan juga Rasulillah. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa ulama-ulama Hadhramaut sejak zaman Al-Faqih Al-Muqoddam sudah banyak yang melakukan perjalanan ke Hindia. Lalu ke malaya. Baru setelah itu ke Indenosia. Sehingga mereka punya keturunan di sana.
Setelah pembukaan, seperti biasa pembacaan tilawah Al-Quran dilantunkan oleh Imam Rahmatullah, mahasiswa universitas Al-Ahqaff yang berasal dari Lombok. Sementara itu, Jihad Muluk selaku sekertaris jendral PPI Yaman mewakili segenap panitia menyampaikan sambutannya pada acara tersebut.
Habib Syekh pada akhirnya menyapa para hadirin dengan suara merdunya setelah sambutan tersebut. Beliau menyampaikan perasaan senangnya yang luar biasa karena mampu berjumpa dengan warna negara Indonesia dengan jumlah yang luar biasa banyaknya pada kunjungan beliau ke Hadhramaut kelima kalinya ini. karenanya, beliau meminta hadirin untuk ikut berteriak mendendangan shalawat bersamanya. Karena sebagaimana filosofi orang Jepang, di mana teriakan akan membuat lebih bersemangat, beliau meminta untuk tidak hanya sekedar medengatkan. Karena dalam mendengarkan tersebut, hanya telinga saja yang mendapatkan manfaatnya,
Sebagai tembang pembuka, habib Muhammad bin Hadi, cucu beliau menyanyikan lagu qod kafani robbi dengan suara anak-anaknya. Tentu saja, hal ini membuat decak kagum dari penonton. Karena di usia yang sedemikian kecilnya itu, ia sudah percaya diri bernyanyi di hadapan khalayak ramai. Setelah itu, satu demi satu habib Syekh mendendangkan shalawat dan qosidah-qosidah andalannya. Dan tentu saja, pelajar Indonesia yang ada di convention hall Habib Abdul Qodir Al-Idrus tersebut hanyut dalam susasana sebagaimana wajarnya. Jiwa-jiwa Syekher Mania yang sempat lama terpendam, kembali hidup bergembira bersama sang Habib mendendangkan shalawat-shalawat kepada kakek beliau, nabi Muhammad S.A.W.
Di sela-sela qosidahnya, beliau berpesan kepada segenap pelajar Indonesia yang ada Yaman, untuk terus-menerus menuntut ilmu, terus-menerus mencari keberkaha selagi masih di Yaman, di negeri leluhur beliau. Beliau juga meminta hadirin untuk sering-sering mengunjungi guru dan habaib yang ada di sini juga meminta petunjuk dari mereka.
Pada akhir acara, beliau memuji sound sistem dan grup hadroh mahasiswa universitas Al-Ahqaff atas penampilan mereka. Beliau tak segan memberi mereka julukan Syekher mania kepada mereka.
Beliau juga meminta untuk di doakan agar dapat sering-sering mampir ke Hadhramaut, paling tidak setahun dua kali. Karena beliau sendiri mengatakan “Ruh saya di sini meskipun raga saya di Indonesia. Karena di sinilah tempatnya ruhaniyah.”
Acara ditutup dengan pembacaan doa untuk keselamatan saudara-saudara kita di tanah quds, Yerussalem dan kesuksesan acara penyambutan momentum proklamasi Indonesia ketujuhpuluh dua yang nantinya akan diselenggarakan oleh PPI Yaman dan PPI wilayah Hadhramaut.
Sanad, warisan ulama kebanggaan umat Islam
*Sanad, warisan ulama kebanggaan umat Islam.*
Oleh : Muh. Faiq
MAULA JENGKANG
Logikaku berkata bahwa, opini publik yang dibentuk secara struktural dan terarah, akan membentuk suatu pola yang diyakini semua anggota masyarakat. Maka, ketika setiap orang yang kau temui berkata, sarapan akan memenuhi semua kebutuhan nutrisi harian, kau akan meyakininya. Seperti kata orang sebelum masehi, bahwa bumi itu datar.
***
Desa Bet Jubn bukanlah desa yang gemerlap banyak lampu. Melainkan sebuah desa pelosok di tanah tandus Yaman. Bahkan kaktus tak bisa tumbuh. Terputus dari dunia luar. Listrik tak ada. Hei, bagaimana listrik mau ada? Desa ini lahir sebelum listrik ada. Maka, edarkan khayalmu pada abad enam hijriah. Pada saat itulah kisah ini bercerita.
Di Bet Jubn, hanya ada seorang alim. Tiada tanding sebab tak ada yang lain. Semua dakwah keagamaan diembannya semua. Permasalahan sengketa, keluarga, jampi-jampi sampai gumam mantra sakti dilakoninya semua. Masih banyak gangguan jin saat itu di Yaman. Maka tak jarang, setiap empat puluh hari sekali, penduduk desa berkumpul di masjid untuk sedekah keselamatan bersama. Penduduknya masih awam beragama.
Masjid Maula Jengkang menjadi masjid satu-satunya rumah ibadah dan pusat dakwah. Masjid itu sudah tua, tidak diketahui siapa yang membangun dan kapan didirikan. Empat saka penyangganya sudah reot. Sering berdecit ketika datang angin. Kayu luban di dinding dan langit-langitnya sudah lapuk. Seperti orang renta osteoporosis yang akan terjungkal tertiup angin. Menaranya luntur, karena dibangun dari tanah liat dan berulang kali terguyur hujan. Maka hanya perlu menunggu waktu, masjid itu akan runtuh.
Setiap pemilik nyawa akan bertemu ajalnya, begitu juga sang alim satu-satunya. Dia meninggal tanpa seorang pengganti. Kacaulah urusan agama desa itu. Khotbah Jumat kosong. Pengajian libur panjang. Maka penduduk desa berembuk mencari pengganti.
Ada seorang wanita salehah bernama Adawi. Keilmuannya mumpuni, bijaksana, lembut bertutur kata, halus berlaku tingkah. Nyaris disepakati bahwa Adawi akan menjadi pengganti juru dakwah. Namun, salah seorang penduduk mengingatkan, juru dakwah juga harus mengisi khotbah Jumat dan menjadi imam salat. Perkara masygul muncul. Akhirnya, pilihan jatuh pada suami Adawi, namanya Abu Lihyah.
“Maulah engkau memimpin urusan agama kami,” pinta penduduk ramai.
“Tapi aku tak bisa, tak fasih membaca Al-Qur’an dan kurang keilmuan”.
Dengan terpaksa, sebab kepepet tak ada yang lain, Abu Lihyah mau-mau-tempe menyanggupinya. Padahal apa yang dikatakannya benar-benar secara harfiah, dia tak bisa. Bukan tak mau. Juga bukan sebab merendah. Maka, tugas pertamanya, Jumat besok dia akan menjadi imam salat dan berkhotbah di mimbar masjid Maula Jengkang.
Tersebar berita bagai badai pasir musim panas, seperti normalnya berita beruntun, bahwa seorang alim baru telah hadir. Menguasai berbagai keilmuan. Sekarang, nama Abu Lihyah akan terkenal sebagai juru dakwah sakti mandraguna tiada saing.
Abu Lihyah mulai menghafal surat-surat pendek dan belajar berkhotbah dari Adawi. Dengan telaten, Abu Lihyah menguasi retorika khotbah dan hafal surat Al-A’la dan Al-Ghasyiah untuk mengimami salat. Pada saat Jumat tiba, dia naik mimbar. Dengan lancar sedikit gugup berkeringat, kaki gemetar, dia buat para jemaah terpukau.
Namun, setiap borok akan bernanah. Sekarang Abu Lihyah memimpin salat. Dia bertakbir dengan mantap. Suaranya berwibawa seperti kata berita. Rakaat pertama dia baca Al-A’la dengan lancar mendayu-dayu. Namun, saat berdiri di rakaat kedua, saat dia baca surat Al-Ghasyiah, dia lupa lanjutan ayatnya. Nanah pun tercium baunya.
“Alam tara ilal ibili kaifa khuliqat,” senyap. “Kaifa khuliqat,” dia ulang bacaannya. Deg. Dia mulai bingung. Keringat mengguyurnya. Dia berusaha mengingat lanjutan ayat, namun gelap. Nihil tiada hasil. “Wah, bakal gawat. Lebih baik aku kabur sekarang.”
Tiba-tiba, Abu Lihyah angkat gamis lalu berlari keluar sekencang-kencangnya. Kaki-kakinya saling kejar satu sama lain. Dia keluar dari masjid itu. Jemaah kebingungan. Bagaimana hukum salat yang ditinggal kabur imamnya. Salat mulai tak khusyuk. Mereka dibutakan oleh berita, mereka gelap mata. Mereka semua berlari keluar mengejar Abu Lihyah. Sekencang apa dia berlari, sekencang itu pula dia dikejar.
Tak dinyana-nyana, tak diduga-duga, setelah orang terakhir keluar dari masjid itu, angin kencang bertiup membawa butir-butir pasir dan batu. Angin menghantam masjid reot itu. Maka hanya ada satu kemungkinan, masjid itu pun rubuh.
***
Sekarang, aku sering berhati-hati pada berita yang belum kutahu benarnya. Barang kali, itu adalah semacam persekongkolan jahat lain di luar diriku. Maka, aku dan pikiranku akan mencari konfirmasi dengan semangat berjingkrak-jingkrak sebelum aku keliru melemparkan batu bukan pada pelakunya.
***
Semua penduduk terhenyak. Ternyata ini sebab sang imam berlari keluar masjid. Ya, Maula Jengkang runtuh menyatu dengan tanah lusuh. Sekarang, semua penduduk sepakat bahwa Abu Lihyah adalah wali kekasih Tuhan. Dia tahu apa yang belum terjadi. Inilah nanah yang tercium harum. Sambil berlarian, peraturannya berubah menjadi satu: dilarang berlari mendahului imam, barang siapa melakukannya, batal salatnya!
***
______________
*Biodata Penulis:
Nama : Mohamad Abdurro’uf
Tempat, Tanggal Lahir : Kudus, 9 Mei 1996
Alamat rumah : Pasuruhan Lor, Jati, Kudus
Nomor Handphone : +967 775 294 550
E-mail : mohamad.abdurrouf@gmail.
Gagal Bukan Berarti Berakhir

By: Imam Abdullah El-Rashied*
Nama : Imam Abdullah El-Rashied
TTL : Sampang, 12 Juni 1993
Pendidikan : TK – SMA (1997-2010) Di Sampang, Madura
Pesantren : Al-Bahjah Cirebon (2010-2014)
Kuliah : Imam Shafie College, Mukalla – Yaman
No. HP : +967 771 439 421
Email : imammahdiyaman@gmail.com
Alamat :Kampus Utama Ribath Wa Kulliyah Imam
Syafi’i, Distrik Syafi’i – Fuwah – Mukalla, Yaman.
Qubah Murayyim : Langkah Awal Habib Umar Menjadi Da’i Dunia

Oleh : Haidar Assegaf*
Madrasah Hadramaut, nama yang memiliki sejarah yang panjang dan dalam bahkan hingga hari ini. Madrasah yang menawarkan manhaj yang bukan hanya demi keselamatan individu tapi juga orang banyak. Dengan semangat “tidaklah Kami utus engkau (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk alam semesta”, para pembesar Madrasah Hadramaut memulai langkah mereka dalam mencetak pribadi-pribadi unggulan untuk kemajuan Islam yang akan datang.
Jika kita persempit ruang pembahasan kali ini di Kota Tarim, kita dapati banyak sekali tempat-tempat dimana para pembesar Madrasah ini menggembleng anak didik mereka. Ratusan masjid dan zawiyah menjadi saksi bagaimana para ulama besar kota ini mewariskan ilmu dan harapan pada para penerus perjuangan mereka kelak. Sebut saja masjid Aal Ba ‘Alawi, Masjid Al-Wa’l, Masjid As-Seggaf, Zawiyah Asy-Syekh Salim Bafadhl, Zawiyah Asy-Syekh Ali bin Abi Bakar As-Sakran, Mi’lamah´ Abi Murayyim dan masih banyak lagi dan kali ini penulis ingin mengajak pembaca semua untuk mengenal lebih dekat mengenai Mi’lamah Abi Murayyim.
Kesadaran para ulama hadramaut bahwa sumber utama ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an membuat perhatian mereka terhadap kitab suci ini sangat besar sejak mereka kecil sebagaimana hal itu sudah lumrah jika melihat pada biografi mereka. Demi melestarikan ciri khas Madrasah Hadramaut ini tergeraklah Al-Imam Al-‘Allamah Muhammad bin Umar Abi Murayyim (w 822 H) mendirikan tempat menghafal al-Qur’an bagi anak-anak Tarim khususnya dan Hadramaut umumnya. Memadukan antara hafalan Al-Qur’an dengan pengetahuan ilmu syariat atau fiqih menjadi program utama bangunan yang tidak seberapa luas ini. Tujuan mencetak huffazh (penghafal-penghafal Al-Qur’an) sekaligus faqih (ahli fiqih) direalisasikan dengan mewajibkan peserta didiknya untuk menghafal bab ibadah dari kitab At-Tanbih, karya Al-Imam Asy-Syairozi, setelah mereka menyelesaikan hafal Al-Qur’annya, hingga kemudian Asy-Syekh Abdullah bin Abdurrahman Balhaj Bafadhl menulis kitab fiqih khusus untuk mi’lamah yang kemudian dikenal dengan nama Qubbah Abi Murayyim ini.
Setelah sempat ditutup, Qubbah Abi Murayyim kembali dibuka di bawah pimpinan Al-Habib Sa’ad Al-‘Aydrus (w 1432 H) hingga hari ini. Berkali-kali dibuktikan bahwa hafalan Al-Qur’an menjadi sangat mudah di tempat ini. Ribuan penghafal Al-Qur’an, sebut saja di antaranya Al-Habib Umar bin Hafizh dan masih banyak nama ulama besar lainnya, menjadi bukti keberhasilan tempat yang walaupun tampak sederhana dan sempit, namun memiliki andil yang sangat besar dalam manhaj Madrasah Hadramaut. Keikhlasan pendiri serta para pengajar Qubbah ini menjadikan semakin bertambahnya jumlah calon huffazh yang akan meneruskan perjuang ulama Madrasah Hadramaut hingga dibuka beberapa cabang di berbagai sudut Kota Tarim demi kenyamanan dan kemudahan para peserta didik, seperti di Masjid Al-‘Ibadah di Aidid.
Pada akhirnya, peran penting Mi’lamah Abi Murayyim tidak bisa dilupakan begitu saja dalam keberhasilan Madrasah Hadramaut, yang berpedoman : “Timbanglah setiap amalmu dengan timbangan Al-Qur’an dan Sunnah”, dalam penyebaran Islam yang santun dan damai di Indonesia khususnya dan di seluruh penjuru dunia hingga saat ini.
*penulis adalah mahasiswa Universitas Alahgaff Yaman tingkat 4.
Present by : Departemen Pendidikan dan Dakwah PPI Hadhramaut.
Peran Ulama dalam Membangun Moral Politik Bangsa
T |